Sanghyang Sirah : Mengenal Kembali Sirah Diri

Tepat hari Idul Fitri 1431 Hijriah sekitar jam 10 pagi saya mendapatkan telepon dari Uyut di Sumedang. Setelah bicara ngalor ngidul tiba-tiba Uyut mengatakan kepada saya kalau tanggal 19 September 2010 (hari minggu) sesuai dengan kesepakatan sewaktu kliwonan hari Jumat maka rombongan berjumlah 8 orang yang pergi ke Sanghyang Sirah sewaktu bulan Maulud kemarin (6 bulan yang lalu) diharapkan untuk pergi kembali ke Sanghyang Sirah.

Saya sempat kaget mendengarnya karena ada sedikit trauma pada waktu ke Sanghyang Sirah kemarin dimana 8 orang yang melakukan puasa selama 7 hari dan 4 orang yang mengantar, semuanya terkena penyakit malaria secara bersamaan alias dalam waktu yang sama. Semua merasakan penderitaan saat malaria kemarin. Kejadian tersebut menjadi trauma karena penyakitnya berlangsung lama bahkan ada satu orang yang menjelang berangkat ke Sanghyang Sirah kemarin masih terkena malaria.

Tetapi yang menjadi kuatnya tekad kami walaupun 3 orang dari 8 orang sebelumnya tidak bisa berangkat adalah adanya kesamaan mimpi yaitu semuanya mengarah ke Sanghyang Sirah. Ada yang didatangi oleh orang tua berbaju putih, ada yang bermain-main di pantai Sanghyang Sirah dan lain-lain. Sementara saya hanya merasakan suatu yang tanpa disengaja yaitu 2 hari sebelum lebaran, berulang kali saya memutar-mutar video perjalanan ke Sanghyang Sirah sebelumnya. Kok ada rasa rindu untuk datang kembali ke sana.

Akhirnya tepat hari minggu, 5 orang (rombongan dari Sumedang termasuk Uyut) datang ke rumah saya untuk menjemput. Tetapi sebelumnya mengganti mobil dulu dengan mobil teman yang ada di Cikarang. Kebetulan teman ini menjadi salah satu pengganti dari 3 orang yang tidak bisa hadir. Dan kebetulan juga teman ini baru mendapatkan mobil baru dari kantor sehingga bisa dipakai dengan alasan uji coba.

Kami merasakan persiapan ke Sanghyang Sirah kali ini cukup matang. Kondisi mental tiap orang dalam rombongan, dana, kendaraan yang digunakan masih baru, kesiapan kapal motor dan tidak melibatkan banyak orang luar. Memang semuanya masih diselimuti rasa was-was termasuk ibu saya yang merasa kuatir setelah saya mengatakan akan pergi lagi ke Sanghyang Sirah. Beliau tahu kalau kondisi saya belum fit benar dan sudah 3 hari mengalami batuk berat. Tetapi akhirnya beliau mengijinkan juga.

Sekitar jam 12.30, kami berangkat ke Bandara Soetta untuk menjemput satu orang dari Aceh untuk melengkapi jumlah rombongan yaitu 8 orang. Tetapi baru saja mau berangkat, tiba-tiba teman di Aceh memberi kabar kalau pesawatnya transit dulu di Polonia Medan dan kemungkinan sampai di Cengkareng sekitar jam 5 sore. Ya sudah karena mobil sudah bergerak maka Uyut memutuskan untuk mampir dulu ke Cileduk yaitu rumahnya Pak Budi sambil menunggu waktu jam 5 sore.

Anehnya di rumah Pak Budi, kami bertemu dengan seorang anak muda yang sudah lama menghilang dan dicari-cari oleh Uyut. Pemuda asal Cirebon ini memang aneh dan unik bahkan menyebalkan karena kelakuannya yang tidak biasa menurut ukuran orang biasa. Ya jelas saja wong pemuda itu bukan manusia normal alias masih keturunan siluman hehehe…

Ada satu peristiwa yang cukup membuat kami kaget yaitu saat pemuda tersebut memberikan keterangan tentang sejarah karuhun dan foto-foto makam/petilasan. Dengan lugas dan lancarnya pemuda tersebut menjelaskan ke Uyut dengan menggunakan laptop. Perlu diketahui pemuda ini tidak pernah sekolah tetapi mempunyai kepintaran yang luar biasa. Hanya melihat satu gadget baru maka langsung bisa menggunakannya walaupun akhirnya kalah juga dengan saya yaitu masalah membuat blog hahahaha…

Menjelang pukul 5 sore, rombongan kami berangkat ke Bandara Soetta. Ternyata suasana di bandara macet sekali. Rupanya banyak orang yang baru kembali ke Jakarta setelah mudik lebaran pada hari minggu tersebut. Untuk parkir saja membutuh waktu 1 jam. Setelah melakukan koordinasi, akhirnya teman berhasil dijemput juga walaupun penuh dengan keringat karena harus mencari-cari di kerumunan banyak orang.

Sebelum melanjutkan kami makan-makan dulu di Tangerang untuk mengisi perut karena perjalanan membutuhkan waktu 5 jam sampai di pantai Cipining, Sumur Pandeglang dimana kapal berlabuh. Alhamdulillah selama perjalanan menuju pantai, kami tidak mengalami gangguang atau halangan apapun. Mungkin karena saya yang menyetir hahahaha… Walaupun berat dan berusaha untuk konsentrasi dalam kondisi masih batuk tetapi tekad yang kuat itulah mengakibatkan semuanya berjalan lancar.

Tepat jam 02.06 kami tiba di rumah nahkoda/pemilik kapal bernama Pak Syaukari. Baru saja mobil saya parkirkan. Pak Syaukari sudah muncul dan segera mengajak kami ke tepi pantai. Membutuhkan waktu satu jam untuk memindahkan barang dan kami ke kapalnya dengan menggunakan sampan kecil karena saat itu ombak lagi pasang. Memang sebelumnya tepat maghrib kemarin ada badai yang menerpa daerah tersebut tetapi tidak membahayakan. Walaupun kami yang mendengarnya sempat ketar ketir juga.

Perlu diketahui juga adanya badai tersebut karena bertemunya angin selatan dan angin utara yang menyebabkan gelombang ombak makin dahsyat terutama tepat di titik pertemuan arus yaitu Tanjung Layar. Dalam kondisi masih gelap, kapal masih berjalan dengan baik. Mungkin disebabkan oleh ahlinya Pak Syaukari membawa kapalnya dalam mengarungi besar dan tingginya ombak. Saya sempat juga melihat bagaimana gelombang setinggi 3 meter menyeret kapal dan merasakan mual yang sangat pada saat gelombang ombak naik turun.

Gaya Mengemudi Pak Syaukari yang unik (dok.cech)
sampan kecil sebagai alat transfer barang dan orang ke kapal (dok.cech)

Sekali lagi Alhamdulillah tepat pukul 08.10, kapal sampai di pantai Bidur. Tetapi masih ada masalah dalam memindahkan barang dan orang ke tepi pantai yaitu ombak masih pasang sehingga menyulitkan sampan untuk bisa menepi dengan mulus. Dengan keahlian anak buahnya Pak Syaukari, kami berdelapan dapat menepi ke tepi pantai.

pantai bidur (dok.cech)

Baru saja mau melanjutkan perjalanan sejauh 1 km (butuh waktu 45 menit) menuju Sanghyang Sirah, tiba-tiba sandal saya putus dan rusak sehingga tidak bisa dipakai. Mau tidak mau saya melanjutkan perjalanan tanpa alas kaki alis nyeker. Kalau yang belum tahun kondisi alam di sana maka dianggap mudah tetapi saya harus menahan sakit yang teramat sangat karena seringkali menginjak duri tanaman liar, menahan panasnya pasir pantai, batu karang yang tajam dan lain-lain. Herannya setiap orang menawarkan alas kaki ke saya maka Uyut selalu melarangnya. Ya sudah saya jalani semuanya dengan berusaha gembira sambil meringis kesakitan. Dan ini berlangsung selama pergi dan pulang.

Pukul 10.23 kamipun tiba di Sanghyang Sirah dan istirahat sejenak di mushola yang ada disana. Setelah beberapa menit, Uyut dan teman dari Aceh mandi di pantai Sanghyang Sirah dalam kondisi gelombang ombak yang bergejolak. Sementara teman-teman yang lain mandi di beberapa mata air yang ada di Sanghyang Sirah. Sedangkan saya melepaskan lelah dengan tidur sejenak karena kelelahan menyetir mobil seharian dan mengistirahatkan kaki yang sakit.

Dua Batu Karang Penanda Sanghyang Sirah (dok.cech)
Keraton Nyi Mas Ratu Mayang Sari (dok.Cech)

Pukul jam 11.10, saya dibangunkan oleh Uyut untuk melakukan doa di petilasan Sanghyang Sirah (dalam goa). Sekitar 1 jam kami melakukan tawasulan yang dipimpin Uyut untuk mendoakan para leluhur (karuhun) termasuk orang tua kami yang sudah meninggal dunia. Dari tawasulan itulah kami semua mendapatkan ilham dan petunjuk mengapa 12 orang yang datang ke Sanghyang kemarin mengalami penderitaan lahir batin baik bertupa penyakit malaria maupun urusan ekonomi. Mungkin ini yang dinamakan pengurasan diri atau menuntaskan (mengakhiri) apa yang sudah kami lakukan sebelumnya. Tujuannya adalah agar kami mengenal kembali Sirah Diri (Kepala/Otak yang dimiliki) dengan balutan Keimanan. ” Berjalan  Dalam Diam, Berlari Dalam Tidur “. Selanjutnya kami mandi di kolam Batu Qur’an yang ada di dalam goa sebagai simbol kegembiraan kami dapat sampai kembali di Sanghyang Sirah.

Petilasan Sanghyang Sirah (dok.Cech)

Oh ya, perlu diketahui bahwa kondisi Sanghyang Sirah sudah berubah jauh dan makin tidak terawat. Semua peninggalan kami sekitar 6 bulan yang lalu hilang tanpa bekas. Contohnya tempat makan dan berkumpul dari batu yang pernah kami buat dulu sudah tertutup dengan rumput, rumput dan tanaman liar yang sempat kami bersihkan sudah kembali menutupi jalan menuju Sanghyang Sirah, sampah-sampah pantai kembali berserakkan padahal sempat bersih waktu kami di sana, tempat duduk dari balok kayu sudah hangus terbakar dijadikan api unggun untuk memasak, gelas dari batok kelapa yang kami buat dan titipkan di sana sudah hilang tanpa bekas, botol-botol untuk menyimpan air juga sudah tidak dan masih banyak lagi. Sungguh prihatin kami melihatnya.

Selain itu teman kami yang pernah saya tulis yaitu Wanadi sudah tidak ada di sana alias sudah pulang ke kampungnya di Inderamayu. Kami hanya menemui satu orang anak muda asal Jawa Timur yang sudah 3 bulan menetap di sana. Kamipun berbagi makanan/ransum kepada pemuda tersebut agar dia tidak mengalami kelaparan.

Tepat jam 12.40 kami pamit diri dan berjalan kembali menuju pantai Bidur dimana kapal kami menunggu. Seperti pada awal kami dan barang-barang harus dipindahkan dengan sampan kecil ke kapal yang besar walaupun kali ini ombak tidak sebesar pada waktu kami mau menepi ke pantai.  Perjalanan pulang sangat lancar tanpa ada gangguan apapun. Kami semua sangat menikmati perjalanan tersebut. Tersembul rasa kebahagiaan dan optimisme yang teramat sangat dalam menjalani hidup kedepannya.

Perjalanan satu hari yang singkat, cepat, tepat dan sehat.

NB: Dalam perjalanan ini ternyata tidak ada satupun dari kami yang membawa kamera jadi hanya dokumentasi lama yang bisa ditampilkan.

Matahari Terbenam di Sanghyang Sirah


Didalam Gua Sanghyang Sirah

12 respons untuk ‘Sanghyang Sirah : Mengenal Kembali Sirah Diri

  1. beneran nich cech gak bawa kamera ? kami kan pengen tuh lihat2 momentnya’ ya sudahlah… yang penting slamet berkah ketujuan ya cech… tapi by the way… oleh2 nya mana?

  2. Assalamualaikum…, cech Fathur ngintip lg. Gmana bisa berhasil kamera dibawa? oh maaf lahir bathin…, takut ada salah nih, Sy dah pndah ke Karawaci mbantu ibu. Skrang jarak tempuh ke Engkong Muhidi jd dekat. Jd silaturohimnya bisa cepat.Kalo mau pergi bersama uyut, melalui petunjuk atau sebuah rencana bersama?

  3. salam kenal mas ruddabby ,kalau perincianya biayanya berapa ya termasuk akomodasi naik perahu,kuncen dan di pos taman nasionalnya..

Tinggalkan komentar